DEEP: Soeharto Pahlawan Nasional, Antara Bapak Pembangunan dan Luka Sejarah

DEEP: Soeharto Pahlawan Nasional, Antara Bapak Pembangunan dan Luka Sejarah
DEEP: Soeharto Pahlawan Nasional, Antara Bapak Pembangunan dan Luka Sejarah. Foto/istimewa.

KALBAR SATU ID – Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Republik Indonesia kedua, Soeharto, kembali memunculkan perdebatan sengit di ruang publik. Isu yang tak pernah benar-benar padam ini kembali mencuat, menimbulkan gelombang opini yang terbelah antara penghormatan atas jasa pembangunan dan penolakan atas rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa Orde Baru.

Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) mencatat, sepanjang periode 1–10 November 2025, terdapat 5.989 pemberitaan di media mainstream (online, cetak, dan elektronik) serta 39.351 percakapan di media sosial terkait wacana tersebut. Analisis dilakukan dengan menggunakan sejumlah kata kunci seperti Soeharto, Suharto, PahlawanNasional, dan TolakSoehartoPahlawanNasional.

Bacaan Lainnya

Media Arus Utama Dominan Positif

Direktur DEEP, Neni Nur Hayati, menjelaskan bahwa media arus utama menunjukkan kecenderungan dukungan yang cukup kuat terhadap wacana pemberian gelar tersebut.

“Sebanyak 73 persen pemberitaan bernada positif, sementara 21 persen negatif dan 6 persen netral. Narasi dominan menyoroti kontribusi Soeharto terhadap pembangunan ekonomi, stabilitas politik, serta penguatan birokrasi,” ungkap Neni dalam keterangannya, Selasa (11/11/25).

Menurut Neni, narasi pro-Soeharto banyak bersumber dari pernyataan organisasi besar keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, serta sejumlah elite politik nasional yang menilai Soeharto layak memperoleh pengakuan atas jasa-jasanya bagi bangsa.

“Bagi pendukungnya, Soeharto adalah sosok Bapak Pembangunan yang berhasil menjaga stabilitas nasional dan membawa Indonesia mencapai swasembada pangan,” tambahnya.

Peta Sentimen di Media Sosial Beragam

Hasil analisis DEEP menunjukkan bahwa pola sentimen publik di media sosial jauh lebih beragam dan terpolarisasi.

Di platform X (Twitter), sentimen positif mendominasi dengan 71 persen, diikuti sentimen netral (20 persen) dan negatif (9 persen).

Facebook memperlihatkan perimbangan opini dengan 38 persen netral, 35 persen negatif, dan 26 persen positif.

Baca juga: Satu Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran, DEEP: Pengaruh Jokowi Masih Kuat

Instagram dan TikTok didominasi sentimen netral masing-masing 58 persen dan 57 persen, mencerminkan kecenderungan pengguna muda yang lebih informatif dan kurang terlibat dalam debat politik.

Sementara di YouTube, sentimen negatif paling tinggi dengan 39 persen, diikuti 38 persen netral dan 23 persen positif.

“Media sosial menunjukkan dinamika opini yang jauh lebih cair dan terbuka. Facebook dan YouTube menjadi ruang diskusi kritis, sementara platform visual seperti TikTok dan Instagram lebih banyak menampilkan konten informatif tanpa ekspresi opini yang kuat,” ujar Neni.

Baca juga: Demokrasi Rusak Secara Sistemik, Neni Beraharap Ada Perubahan Besar agar Naik Kelas

Narasi Pro dan Kontra

DEEP juga memetakan dua kutub besar narasi publik dalam perbincangan ini.

Narasi positif menekankan pada stabilitas politik, keberhasilan pembangunan, serta dukungan moral dari tokoh keagamaan. Pendukung menilai pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional merupakan bentuk penghargaan atas kontribusinya terhadap kemajuan Indonesia.

Narasi negatif, sebaliknya, menyoroti pelanggaran HAM berat, pembungkaman kebebasan sipil, serta praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang menjadi simbol kejatuhan rezim Orde Baru pada 1998.

“Banyak warganet menilai bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto berpotensi ‘menormalkan pelanggaran masa lalu’ dan ‘menulis ulang luka sejarah’. Namun di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa kontribusinya bagi bangsa tidak dapat dihapus hanya karena sisi kelam sejarah,” papar Neni.

Baca juga: Podcast KASTalk: Neni Nur Hayati Bicara Soal Doxing dan Demokrasi Indonesia

Cermin Polarisasi Ingatan Kolektif

DEEP menilai, perdebatan mengenai Soeharto bukan hanya soal layak atau tidaknya gelar pahlawan diberikan, melainkan juga mencerminkan polarisasi ingatan kolektif bangsa.

“Isu ini memperlihatkan pertarungan narasi antara memori kejayaan pembangunan dan tuntutan keadilan atas masa lalu. Pemerintah perlu berhati-hati, karena keputusan terkait gelar ini akan berpengaruh terhadap cara generasi muda memahami sejarah nasional,” tegas Neni.

Ia menambahkan, langkah pemerintah sebaiknya mempertimbangkan keseimbangan antara penghormatan terhadap kontribusi dan akuntabilitas atas pelanggaran masa lalu.
“Rekonsiliasi sejarah harus dilakukan dengan bijak, agar penghargaan terhadap tokoh bangsa tidak menyinggung rasa keadilan masyarakat,” tutupnya.

Ikuti GOOGLE NEWS atau Join Channel TELEGRAM

Pos terkait