KALBAR SATU ID – Ada pepatah lama di pesantren, ketika santri berantem di dapur, yang turun tangan bukan kepala seksi, melainkan pengasuh. Karena masalahnya bukan sekadar siapa yang salah mencuci piring, tapi bagaimana menjaga agar dapur, tempat semua santri makan, tidak rusak dan tetap bisa berfungsi untuk semua.
Begitulah kira-kira gambaran yang terjadi di PBNU hari ini. Disaat para elitnya berkonflik dan bertahan dengan pendapat dan argumentasinya masing-masing, dan saling klaim yang paling benar dan paling sesuai dengan aturan internal (AD/ART) sebagai legitimasinya, sehingga membuat prihatin mayoritas kyai sepuh dan musytasyar NU, dan kyai pesantren, yang akhirnya turun tangan untuk mencari solusi atas konflik yang terjadi. Para kyai ini memiliki cara tersendiri dalam menyelesaikan konflik ini, dimana bukan justru memihak siapa benar atau salah, tetapi untuk menyelamatkan rumah besar yang selama ini menjadi tempat berteduh puluhan juta warga Nahdliyin.
Berbagai forum silaturahmi antar kyai sepuh NU, musytasyar NUdan para kyai pesantren besar NU dilakukan, semua dilakukan dalam rangka mencari solusi atas persoalan yang sedang terjadi.
Namun demikian, apakah berbagai forum silaturahmi dan hasilnya akan didengarkan oleh elit PBNU atau justru dianggap tidak konstitusional karena tidak tercantum dalam aturan internal berbagai forum tersebut?
Rangkaian Silaturahmi yang Penuh Makna
Pertemuan pertama diadakan 30 November 2025 di Pondok Pesantren Al-Falah Ploso, Kediri, diprakarsai KH Anwar Manshur dari Lirboyo dan KH Nurul Huda Djazuli dari Ploso. Sepuluh kyai sepuh berkumpul, sebagian hadir langsung, sebagian melalui zoom, dengan satu keprihatinan yang sama, yakni kondisi PBNU yang semakin terkoyak. Mereka bukan berkumpul untuk mengadili, melainkan untuk mencari jalan keluar dan solusi terbaik bagi PBNU.
Seminggu kemudian, 6 Desember 2025, forum sesepuh bertemu lagi di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Pertemuan ini lebih intensif, berlangsung tujuh jam, karena melibatkan kedua belah pihak. Gus Yahya datang dengan membawa berkas satu tas, siap memberikan klarifikasi. Yang menarik, forum ini tidak langsung menjatuhkan vonis. Sebaliknya, mereka menyampaikan pandangan berimbang, proses pemakzulan tidak sesuai AD/ART, tapi ada juga informasi kuat terjadinya kekeliruan serius dalam pengambilan keputusan yang perlu diklarifikasi.
Kemudian datang momentum yang sangat simbolis. Bersamaan dengan Haul ke-16 Gus Dur di Ciganjur pada 20-21 Desember 2025, Musyawarah Besar Warga NU menghasilkan sembilan seruan moral untuk mengembalikan NU kepada jamaah demi kemaslahatan bangsa dan kelestarian alam. Dan di hari yang sama, Musyawarah Kubro digelar di Aula Al-Muktamar Pondok Pesantren Lirboyo pada 21 Desember 2025, sebuah pertemuan yang melibatkan ribuan pengurus dari PWNU dan PCNU seluruh Indonesia.
Strategi Elegan Kyai Sepuh
Dalam tradisi NU, ada hikmah yang sering disampaikan: “Ora usah ngalah-ngalahke, sing penting njogo kautuhan” (tidak perlu saling mengalahkan, yang penting menjaga keutuhan). Inilah yang diterapkan para kyai sepuh.
Pertama, mereka memilih tempat-tempat yang netral dan penuh berkah. Ploso, Tebuireng, Lirboyo, ini bukan sekadar nama pesantren, tetapi simbol spiritual yang dihormati semua pihak. Ketika rapat diadakan di sana, semua orang otomatis menjaga adab. Tidak ada yang berani keras kepala di hadapan para pengasuh yang dimuliakan.
Kedua, mereka tidak terburu-buru. Ada tiga tahap pertemuan yang dilakukan bertahap, Ploso untuk pembuka dan pernyataan keprihatinan, Tebuireng untuk mendengar kedua belah pihak, dan Lirboyo sebagai puncak untuk menghasilkan keputusan. Seperti memasak rendang, tidak bisa langsung empuk, harus dimasak dengan api kecil secara sabar.
Ketiga, mereka menggunakan bahasa yang adil. Forum Musyawarah Kubro meminta Rais Aam dan Ketua Umum PBNU melakukan islah selambat-lambatnya 3×24 jam terhitung sejak 21 Desember 2025. Tidak ada yang disebut “bersalah” atau “benar”, hanya ada dua pihak yang sama-sama diminta untuk ber-islah.
Keempat, mereka memberi solusi bertingkat. Jika islah tidak tercapai dalam 3×24 jam, kedua pihak diminta menyerahkan kewenangan kepada Mustasyar untuk menyelenggarakan Muktamar NU 2026 dalam waktu 1×24 jam. Jika itu pun tidak disetujui, maka akan diadakan Muktamar Luar Biasa selambat-lambatnya sebelum keberangkatan jamaah haji kloter pertama 2026. Ini strategi yang sangat cerdas, memberi pilihan, tapi dengan tenggat waktu yang jelas. Tidak membiarkan konflik berlarut, tapi juga tidak memaksakan satu solusi.
Ketika Haul Gus Dur Berbicara
Ada yang sangat mengena dari momentum haul Gus Dur tahun ini. Alissa Wahid dalam sambutannya menyinggung konsesi tambang sebagai simpul konflik besar pada kepemimpinan NU, padahal Gus Dur selalu menegaskan bahwa kyai dan nyai NU tidak memikirkan keadaan mereka sendiri tetapi selalu memikirkan keadaan bangsa.
Kata-kata ini bukan sekadar nostalgia. Ia adalah pengingat bahwa NU didirikan bukan untuk mengejar konsesi ekonomi, melainkan untuk melayani umat. Para pendiri NU, dari Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari hingga Gus Dur, membangun organisasi ini di atas fondasi pengabdian, bukan perhitungan untung-rugi.
Haul Gus Dur yang bersamaan dengan Musyawarah Kubro di Lirboyo seperti pengingat dari alam, nilai-nilai apa yang sejatinya harus dijaga NU. Ketika elite sibuk memperebutkan kursi, warga NU di Ciganjur justru berkumpul untuk merefleksikan, apakah kebijakan kita sudah membawa maslahat bagi umat? Pertanyaan sederhana, tapi sangat menohok.
Tidak Ada yang Menang, yang Ada Hanya Keutuhan
Dalam berbagai pernyataan para kyai sepuh, tidak pernah ada kata “menang” atau “kalah”. Yang ada hanya satu kata, “keutuhan”. KH Abdul Mu’id Shohib dari Lirboyo menyatakan pertemuan ini sebagai wujud ikhtiar kolektif para sesepuh dalam menjaga ukhuwah jam’iyyah di bawah bimbingan kebijaksanaan para ulama.
Ini sangat berbeda dengan logika politik Jakarta yang selalu bicara siapa menang, siapa kalah, siapa yang punya legitimasi lebih kuat. Para kiai sepuh memahami bahwa dalam konflik organisasi keagamaan, tidak ada pemenang. Jika NU terpecah, semua kalah, terutama jamaah di akar rumput yang tidak peduli dengan rivalitas elite, mereka hanya butuh bimbingan, pelayanan, dan perlindungan dari organisasi mereka.
Ada kebijaksanaan dalam cara para kiai sepuh mengelola konflik ini. Mereka tidak menyalahkan satu pihak dan membenarkan pihak lain. Mereka justru mengatakan, kedua pihak punya kekurangan, dan kedua pihak harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah ini. Ini bukan strategi politik biasa, ini adalah kearifan yang hanya dimiliki orang-orang yang sudah puluhan tahun mengurus santri dan pesantren.
Ujian Kesungguhan
Sekarang tinggal menunggu, apakah kedua pihak akan mendengarkan seruan para kyai sepuh? Atau ego masih lebih besar dari kecintaan pada NU?
Tenggat waktu 3×24 jam untuk islah sudah diberikan. Ini bukan tenggat yang main-main. Para kyai sepuh sudah turun tangan dengan segala kemuliaan dan kewibawaan mereka. Jika dalam situasi seperti ini kedua pihak masih tidak bisa islah, maka itu bukan lagi soal siapa benar atau salah, itu soal kesungguhan dalam menjaga NU.
Warga NU di seluruh Indonesia sedang menunggu. Bukan menunggu siapa yang menang, tapi menunggu kapan rumah besar ini kembali teduh. Para santri di pesantren-pesantren terpencil tidak peduli dengan drama Jakarta. Petani di sawah, nelayan di laut, pedagang di pasar, mereka tidak punya waktu untuk ikut berpihak dalam konflik elite. Yang mereka butuhkan adalah NU yang hadir, melayani, membimbing, dan melindungi.
Pelajaran untuk Kita Semua
Dari rangkaian pertemuan Ploso, Tebuireng, Lirboyo, dan Ciganjur ini, ada pelajaran besar yang bisa dipetik. Pertama, konflik tidak diselesaikan dengan saling mengalahkan, tapi dengan mencari titik temu demi kepentingan yang lebih besar. Kedua, dalam tradisi NU, kebijaksanaan ada pada para sesepuh, bukan karena mereka paling pintar, tapi karena mereka paling memahami apa itu maslahat. Ketiga, organisasi keagamaan tidak bisa dikelola dengan logika politik praktis. NU bukan partai, bukan perusahaan, NU adalah rumah spiritual jutaan orang yang butuh ketenangan, bukan hiruk-pikuk.
Musyawarah Kubro di Lirboyo adalah pertemuan terbesar di bawah muktamar, walaupun tidak diatur dalam AD/ART, namun secara nilai setara dengan konferensi besar, melibatkan semua struktur dari PWNU hingga PCNU. Ini menunjukkan betapa seriusnya para kyai sepuh melihat krisis ini. Mereka tidak ingin NU terjebak dalam dualisme yang berkepanjangan, karena dualisme adalah awal dari kehancuran sebuah organisasi.
Kini bola ada di tangan Rais Aam dan Ketua Umum. Apakah mereka akan mendengarkan seruan para kiai sepuh yang dengan ikhlas dan penuh kebijaksanaan yang telah menyusun jalan keluar? Atau apakah mereka akan memilih jalan sendiri-sendiri yang berisiko memecah NU?
Sejarah akan mencatat pilihan mereka. Dan jamaah di akar rumput, yang selama ini menjadi alasan mengapa NU ada, sedang menunggu dengan harap-harap cemas. Semoga para kyai sepuh yang telah turun tangan dengan segala kemuliaan mereka, tidak sia-sia. Semoga islah benar-benar terwujud, bukan demi dua orang, tapi demi puluhan juta warga Nahdliyin yang membutuhkan rumah besar mereka kembali teduh.
Penulis: HUSNUL HAKIM SY, MH., Dekan FISIP Unira Malang, Wakil Sekretaris PCNU Kab Malang.






