Konstitusi di Bawah Bayang-Bayang Kekuasaan: Tanggung Jawab Mahasiswa

Konstitusi di Bawah Bayang-Bayang Kekuasaan: Tanggung Jawab Mahasiswa
Konstitusi di Bawah Bayang-Bayang Kekuasaan: Tanggung Jawab Mahasiswa. Foto/istimewa.

KALBAR SATU ID – Dalam dinamika ketatanegaraan Indonesia kontemporer, semakin tampak adanya kecenderungan pelemahan prinsip negara hukum melalui praktik penyelenggaraan kekuasaan yang pragmatis dan elitis.

Proses pembentukan undang-undang strategis yang minim partisipasi publik, intervensi terhadap independensi lembaga negara, serta pengabaian etika konstitusional menjadi fenomena nyata yang mencerminkan tergerusnya supremasi konstitusi. Hukum, yang seharusnya berfungsi sebagai instrumen pembatas kekuasaan, justru direduksi menjadi alat legitimasi kepentingan politik segelintir elite.

Padahal, secara tegas Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwak Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa seluruh tindakan penyelenggara negara wajib tunduk pada hukum dan konstitusi.

Baca juga: Rapat Konsultasi PBNU di Lirboyo Sepakati Muktamar Bersama

Jaminan atas kepastian hukum yang adil sebagaimana termuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, serta prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, seharusnya menjadi fondasi dalam setiap proses pengambilan kebijakan negara. Selain itu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menegaskan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilaksanakan berdasarkan asas keterbukaan dan partisipasi masyarakat.

Namun dalam praktiknya, asas-asas tersebut kerap dipinggirkan, sehingga produk hukum yang lahir tidak mencerminkan kehendak rakyat, melainkan kepentingan kekuasaan.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa persoalan ketatanegaraan hari ini bukan semata-mata persoalan kekosongan norma, melainkan persoalan keberanian politik untuk tunduk pada konstitusi. Ketika hukum dijalankan secara prosedural namun kehilangan substansi keadilan, maka yang lahir bukan negara hukum, melainkan negara kekuasaan yang bersembunyi di balik teks undang-undang.

Oleh karena itu, diperlukan upaya pemulihan supremasi konstitusi secara menyeluruh. Independensi lembaga negara harus dijaga dari intervensi kekuasaan, proses legislasi harus dikembalikan pada prinsip partisipasi publik yang bermakna, dan penegakan hukum harus diarahkan pada keadilan substantif, bukan sekadar kepatuhan formal. Tanpa langkah-langkah tersebut, hukum akan terus menjauh dari rakyat dan kehilangan fungsi emansipatorisnya sebagai alat pembebasan dari ketidakadilan struktural.

Dalam konteks ini, mahasiswa Hukum Tata Negara memiliki tanggung jawab moral dan akademik untuk tidak bersikap netral terhadap ketidakadilan. Kampus bukan ruang steril dari realitas sosial, melainkan medan pertarungan gagasan dan nurani konstitusi.

Sebagaimana diingatkan oleh Tan Malaka, “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan.” Pernyataan tersebut menegaskan bahwa pendidikan hukum tidak boleh berhenti pada hafalan pasal, melainkan harus melahirkan keberpihakan pada keadilan.

Ir. Soekarno pun mengingatkan, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Kutipan ini menjadi refleksi bahwa tantangan terbesar mahasiswa hari ini adalah melawan penyimpangan kekuasaan yang dilakukan atas nama hukum dan konstitusi itu sendiri.

Narasi ini merupakan bentuk kontribusi akademik mahasiswa Hukum Tata Negara dalam menjaga agar konstitusi tetap hidup, kritis, dan berpihak pada rakyat. Ketika konstitusi dilemahkan, maka diam bukanlah pilihan, sebab diam adalah bentuk persetujuan paling sunyi terhadap ketidakadilan.

Penulis: Haidar Ali Yahya R, Mahasiswa Hukum Tata Negara, IAIN Pontianak.

Ikuti GOOGLE NEWS atau Join Channel TELEGRAM

Pos terkait

Tinggalkan Balasan