Membaca Konflik PBNU dengan Kacamata Cobb dan Elder: Pertarungan Agenda di Balik Keributan Elite

Penulis: HUSNUL HAKIM SY, MH., Dekan FISIP UNIRA Malang, Pemerhati Kebijakan dan Hukum.
Penulis: HUSNUL HAKIM SY, MH., Dekan FISIP UNIRA Malang, Pemerhati Kebijakan dan Hukum.

KALBAR SATU ID – Ada sebuah pepatah lama yang sering dikutip para kiai, “Rumah yang ditinggali banyak penghuni butuh aturan yang jelas, kalau tidak, yang besar akan bertikai soal dapur, yang kecil akan kelaparan di kamar.” Kiasan sederhana ini begitu pas untuk menggambarkan apa yang sedang terjadi di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama hari ini.

Di tengah keramaian wacana nasional, konflik yang melingkupi PBNU kembali menyeruak ke permukaan dengan intensitas yang mengkhawatirkan. Bagi mata awam, ini terlihat seperti pertikaian elite biasa, sekadar perbedaan pendapat atau persaingan pengaruh antara tokoh-tokoh besar. Tapi bagi mereka yang terbiasa membaca dinamika organisasi dengan kacamata kritis, yang terjadi jauh lebih mendasar, ini adalah pertarungan menentukan agenda organisasi, yang pada akhirnya akan menentukan ke mana NU akan melangkah di masa depan.

Organisasi Besar, Kepentingan Berlapis

Perlu dipahami sejak awal bahwa ormas sebesar PBNU tidak sesederhana itu. Ia bukan sekadar perkumpulan pengajian atau majelis taklim di kampung yang agendanya cuma soal wirid dan tahlilan. PBNU adalah organisasi raksasa dengan puluhan juta anggota, mengelola ribuan pesantren, punya pengaruh politik yang signifikan, terhubung dengan kebijakan negara, ekonomi rakyat, relasi sosial, bahkan diplomasi antarbangsa.

Karena itu, setiap perubahan arah organisasi, sekecil apa pun, selalu melibatkan banyak kepentingan. Ada kepentingan ulama yang ingin menjaga kemurnian tradisi keilmuan. Ada kepentingan pengurus yang melihat peluang ekonomi untuk kesejahteraan pesantren. Ada kepentingan politisi yang ingin memanfaatkan basis massa NU. Ada kepentingan pengusaha yang melihat jaringan NU sebagai pasar potensial. Dan ada kepentingan pemerintah yang membutuhkan legitimasi sosial-keagamaan untuk kebijakan-kebijakannya.

Di tengah kepentingan yang saling bersilangan inilah konflik PBNU harus dibaca, bukan sekadar soal siapa benar siapa salah, tapi soal agenda siapa yang akan menang.

Memetakan Konflik dengan Teori Agenda Setting

Roger Cobb dan Charles Elder, dua pakar kebijakan publik, punya kerangka analisis yang sangat berguna untuk membaca konflik semacam ini. Mereka menjelaskan bahwa dalam setiap organisasi atau sistem politik, konflik biasanya muncul ketika ada aktor-aktor berbeda yang mencoba memasukkan isu tertentu ke dalam agenda resmi organisasi.

Bayangkan seperti ini, dalam sebuah majelis, banyak orang mengusulkan berbagai hal. Si A ingin membahas pembangunan masjid. Si B ingin membahas masalah konflik tanah waqaf. Si C ingin membahas strategi menghadapi pemilu. Yang mana yang akhirnya dibahas secara resmi dan menjadi keputusan organisasi? Itulah pertarungan agenda.

Menurut Cobb dan Elder, ada dua jenis agenda yang harus kita bedakan. Yang pertama, agenda sistemik, isu-isu yang sedang ramai dibicarakan publik, termasuk di kalangan warga NU sendiri. Ini sifatnya masih wacana, belum jadi keputusan resmi. Orang-orang ngobrol di warung kopi, diskusi di grup WhatsApp, ceramah di pesantren, semua itu bagian dari agenda sistemik.

Kedua, agenda institusional, yakni isu-isu yang benar-benar diproses dan menjadi prioritas resmi organisasi. Ini yang masuk rapat pleno, yang diputuskan dalam muktamar, yang kemudian menjadi kebijakan mengikat.

Nah, proses membawa isu dari ruang publik (agenda sistemik) menuju ruang formal (agenda institusional) inilah yang sering memicu gesekan hebat. Siapa yang berhasil menentukan agenda, dialah yang sesungguhnya menentukan arah organisasi, bukan sekadar yang duduk di kursi ketua umum.

Tiga Medan Pertarungan Agenda di PBNU

Kalau kita cermati dengan saksama, ada tiga medan utama pertarungan agenda di tubuh PBNU saat ini, Medan Pertama adalah relasi dengan Negara.

Ini isu paling mencolok dan paling banyak menyedot energi perdebatan. Sebagian tokoh NU melihat pentingnya menjaga kedekatan strategis dengan pemerintah, khususnya dalam hal pemberdayaan umat dan stabilitas. Mereka berargumen: “NU itu ormas besar, kalau tidak dekat dengan pemerintah, bagaimana bisa mempengaruhi kebijakan untuk kepentingan umat?” Bagi mereka, negara adalah mitra yang harus dijaga relasinya.

Di sisi lain, ada kubu yang menghendaki jarak kritis. PBNU, bagi mereka, harus hadir sebagai kekuatan moral independen, bukan sekadar mitra kekuasaan yang justru kehilangan fungsi kritisnya. Mereka mengutip sejarah, “Para pendiri NU dulu justru berani mengkritik penjajah, berani melawan ketidakadilan. Kalau sekarang kita terlalu dekat dengan penguasa, kita akan jadi alat legitimasi saja.”

Ketika dua pandangan ini berlomba-lomba memasukkan agenda masing-masing sebagai “arah resmi organisasi”, gesekan menjadi tak terhindarkan. Yang satu berusaha membawa PBNU masuk lebih dalam ke lingkaran kekuasaan, dengan segala konsekuensi ekonomi dan politiknya. Yang lain berusaha menarik PBNU kembali ke khittah 1926 sebagai organisasi kultural-keagamaan yang independen.

Medan Kedua yakni Politik Praktis atau Moral Bangsa?.
Pertarungan agenda berikutnya menyangkut posisi PBNU dalam politik nasional. Sebagian aktor mendorong PBNU untuk lebih aktif terlibat dalam politik praktis. Mereka melihat posisi NU sebagai kekuatan sosial terbesar di negeri ini, punya massa puluhan juta, punya jaringan hingga ke desa-desa, maka wajar bila memiliki pengaruh politik yang terang-terangan. “Kalau bukan kita yang mengisi ruang politik, nanti diisi oleh kelompok lain yang justru bisa merugikan umat,” demikian argumen mereka.

Namun di sisi lain, ada yang ingin NU kembali ke peran sebagai “penyangga moral bangsa” tanpa masuk terlalu dalam ke kubangan politik praktis. Mereka khawatir bila NU terlalu terlibat dalam politik, maka fungsi moralnya akan luntur. “Ketika ulama masuk politik, yang terjadi bukan ulama yang mengislamkan politik, tapi politik yang mengkomodifikasi ulama,” kata mereka dengan nada prihatin.

Kedua agenda ini sama-sama ingin menjadi prioritas organisasi. Dan seperti yang dijelaskan Cobb dan Elder, ketika dua agenda bertabrakan dalam ruang yang terbatas, karena organisasi tidak bisa mengejar dua kelinci sekaligus, konflik pun muncul dengan sendirinya.

Medan Ketiga, yaitu Fokus Domestik atau Ambisi Global?.
Pertarungan agenda ketiga menyangkut arah gerakan sosial-ekonomi NU. Beberapa pihak menekankan pentingnya fokus pada isu domestik, yakni ekonomi umat, pengurangan kemiskinan, pemberdayaan pesantren, kesejahteraan santri, perbaikan madrasah, dan peningkatan kualitas pendidikan Islam di akar rumput. “Masih banyak warga NU yang hidup di bawah garis kemiskinan, masih banyak pesantren yang kekurangan fasilitas, masih banyak santri yang butuh beasiswa. Untuk apa kita sibuk ke luar negeri kalau rumah sendiri masih bocor?” demikian argumen kubu ini.

Sementara itu, sebagian lainnya membayangkan masa depan NU sebagai aktor global dengan diplomasi lintas negara dan wacana peradaban dunia. Mereka melihat bahwa NU punya modal besar untuk menjadi rujukan Islam moderat di dunia internasional. “Kalau kita hanya fokus domestik, kita tidak akan pernah punya pengaruh global. Padahal dunia sedang butuh model Islam moderat seperti NU,” kata mereka.

Perbedaan visi ini menciptakan “tarik-menarik agenda” yang kemudian memunculkan ketegangan di ruang publik. Yang satu ingin seluruh potensi sumber daya organisasi dialokasikan untuk program-program kerakyatan di dalam negeri. Yang lain ingin sebagian besar potensi sumber daya dipakai untuk diplomasi internasional dan membangun jejaring global. Tentu saja kedua pilihan ini tidak bisa dilakukan bersamaan dengan kekuatan sumber daya yang terbatas.

Aktor-Aktor dalam Pusaran Konflik

Jika kita menggunakan pendekatan Cobb dan Elder secara konsisten, kita akan melihat bahwa konflik ini bukan sekadar perselisihan personal antara dua atau tiga tokoh. Ini adalah pertarungan sistemik yang melibatkan berbagai lapisan aktor dengan kepentingan masing-masing.

Pertama, antar elite PBNU sebagai aktor pusat yang memegang posisi formal di struktur organisasi. Mereka punya akses ke sumber daya organisasi, punya wewenang membuat keputusan, dan punya platform untuk menyuarakan agenda. Posisi mereka di puncak hierarki membuat mereka memiliki “agenda-setting power” yang sangat besar.

Kedua, aktor politik nasional yang memiliki kepentingan terhadap arah NU. Ini bisa berupa partai politik yang butuh suara NU, pemerintah yang butuh dukungan NU, atau pengusaha yang butuh akses ke jaringan ekonomi NU. Mereka tidak duduk dalam struktur organisasi, tapi punya pengaruh besar lewat berbagai bentuk patronase.

Ketiga, media sosial dan media massa yang berperan sebagai medan pertempuran narasi. Di era digital ini, pertarungan agenda tidak hanya terjadi di ruang rapat tertutup, tapi juga di ruang publik yang terbuka lebar. Siapa yang menguasai narasi di media sosial, dia punya modal besar untuk mempengaruhi agenda sistemik, yang kemudian bisa menekan agenda institusional.

Pertarungan agenda ini kemudian diperkuat oleh dinamika media sosial yang cenderung menyederhanakan isu, mempolarisasi kubu, dan memperbesar ketegangan. Yang tadinya bisa diselesaikan lewat silaturahmi tertutup, kini menjadi tontonan publik yang mengkhawatirkan.

Harga yang Harus Dibayar oleh Umat

Yang paling dirugikan dari semua ini tentu bukan para elite yang bertikai. Mereka tetap punya akses ke sumber daya, tetap punya platform, tetap punya jaringan. Yang paling dirugikan adalah umat, warga NU di akar rumput yang tidak peduli dengan perebutan kursi dan kekuasaan, tapi butuh bimbingan ruhani, pelayanan sosial, dan advokasi untuk kehidupan mereka yang semakin berat.

Ketika energi organisasi tersedot habis untuk mengurusi konflik internal, isu-isu penting justru terabaikan. Kemiskinan struktural di kalangan warga NU masih tinggi, tapi tidak ada program besar untuk mengentaskannya. Kualitas pendidikan pesantren masih jauh dari ideal, tapi tidak ada alokasi anggaran memadai untuk perbaikannya. Kesehatan masyarakat desa-desa NU masih memprihatinkan, tapi tidak ada kebijakan kesehatan yang terstruktur. Bimbingan keagamaan yang menyejukkan semakin langka, karena para ulama sibuk berkonflik di Jakarta.

Umat hari ini sedang menghadapi tekanan hidup yang luar biasa berat. Ekonomi sulit, biaya hidup naik, lapangan kerja terbatas, ketimpangan sosial melebar. Mereka butuh organisasi yang hadir memberi solusi konkret, bukan organisasi yang malah menambah kegelisahan lewat konflik yang berkepanjangan.

Ada cerita dari seorang pengurus NU cabang di Jawa Timur yang mengatakan, “Pak ustadz di sini bingung mau ngomong apa kalau ditanya jamaah. Mereka tanya: ‘Ustadz, kok NU ribut terus? Siapa yang benar?’ Terus kami harus jawab apa? Kami sendiri tidak tahu persis apa yang terjadi di Jakarta. Yang kami tahu, program-program kami di lapangan jadi terhambat karena semua orang fokusnya ke konflik pusat.”

Inilah dampak paling nyata dari pertarungan agenda di level elite, kegagalan melayani umat di akar rumput.

Jalan Pulang: Mengembalikan NU pada Khittohnya

Untuk keluar dari pusaran konflik yang tidak produktif ini, PBNU perlu kembali pada tradisi musyawarah dan tabayyun yang selama ini menjadi karakter khas organisasi. Agenda organisasi harus disepakati secara terbuka dan kolektif, lewat forum-forum resmi seperti rapat pleno atau muktamar, bukan melalui perang narasi di media sosial atau lobi-lobi politik di belakang layar.

NU telah melewati banyak badai sejak berdiri tahun 1926. Dari masa penjajahan, revolusi kemerdekaan, pergolakan politik pasca-kemerdekaan, hingga era reformasi, NU selalu bisa bertahan karena punya mekanisme internal untuk menyelesaikan konflik secara damai. Konflik hari ini pun akan berlalu bila semua pihak mau kembali melihat bahwa NU jauh lebih besar daripada kepentingan siapa pun, lebih besar dari ambisi personal, lebih besar dari kepentingan politik, lebih besar dari peluang ekonomi sesaat.

Ketika agenda-agenda saling bertabrakan dan ketegangan semakin menebal, muncul satu pertanyaan yang patut direnungkan oleh semua pihak, untuk siapa sesungguhnya organisasi ini ada?
Apakah NU ada untuk kepentingan elite yang duduk di kursi pengurus? Apakah NU ada untuk melayani kepentingan politik rezim yang sedang berkuasa? Apakah NU ada untuk menjadi alat legitimasi bagi korporasi yang ingin mengeruk keuntungan dari sumber daya alam?
Ataukah NU ada untuk melayani umat yang sedang susah, petani yang gagal panen karena banjir, buruh yang kehilangan pekerjaan, santri yang putus sekolah karena tidak mampu bayar, ibu-ibu yang bingung mendidik anak di tengah gempuran media sosial yang merusak?

Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan ke mana NU melangkah. Dan jawaban itu harus datang dari kesadaran kolektif seluruh warga Nahdliyin, bukan dari keputusan segelintir elite yang sedang bertikai.

Karena pada akhirnya, NU bukan hanya organisasi dengan struktur formal dan anggaran dasar. NU adalah rumah nilai yang mengajarkan tawassuth, tasamuh, tawazun, dan amar ma’ruf nahi munkar. NU adalah rumah keilmuan yang menjaga tradisi pesantren dan khazanah Islam Nusantara. NU adalah rumah umat yang memberi teduh di tengah panasnya kehidupan dunia.
Dan rumah ini layak dijaga dari keributan yang tidak perlu, layak dikembalikan pada fungsinya yang sejati sebagai mercusuar peradaban, bukan dijadikan ajang perebutan kekuasaan dan kekayaan yang memilukan.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Penulis: HUSNUL HAKIM SY, MH., Dekan FISIP UNIRA Malang, Pemerhati Kebijakan dan Hukum.

Ikuti GOOGLE NEWS atau Join Channel TELEGRAM

Pos terkait