Menertawakan Demokrasi Indonesia ala Gus Dur, di Tengah Usulan Pilkada Tak Langsung

Husnul Hakim SY, MH, Dekan FISIP Unira Malang, Pemerhati Kebijakan dan Hukum.
Husnul Hakim SY, MH, Dekan FISIP Unira Malang, Pemerhati Kebijakan dan Hukum.

KALBAR SATU ID – Gus Dur pernah mengatakan, kurang lebih begini, “Kalau politik sudah terlalu serius, biasanya yang hilang itu akal sehat.” Kalimat itu terasa makin relevan hari ini, ketika demokrasi kita tampak sibuk mengatur dirinya sendiri, tapi lupa bertanya apakah rakyat masih merasa dilibatkan.

Di tengah wacana menghidupkan kembali pilkada tidak langsung, demokrasi Indonesia seolah kembali mengenakan jas terlalu rapi, berdasi kaku, dan dengan wajah tegang, padahal rakyat masih ingin disapa, bukan sekadar diwakili. Barangkali, jika Gus Dur masih ada, beliau tidak akan marah. Ia mungkin justru tertawa, lalu bertanya santai, “Lha, ini demokrasi apa rapat keluarga besar?”

Ketika Demokrasi Kehilangan Senyum Ramahnya

Demokrasi Indonesia hari ini sedang berada dalam fase yang aneh. Di satu sisi, kita dengan bangga mengklaim sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Pemilu kita dirayakan, transisi kekuasaan berjalan damai, dan rakyat bebas berbicara, setidaknya di media sosial. Tapi di sisi lain, muncul kembali usulan untuk menarik hak memilih kepala daerah langsung dari tangan rakyat, dengan dalih efisiensi, stabilitas, dan pengendalian biaya politik yang membengkak.

Partai Golkar, dalam perayaan HUT ke-61 nya, secara resmi mengusulkan kepada Presiden Prabowo agar pilkada kembali dipilih oleh DPRD. Pun begitu dengan cak Imin, ketum PKB, dalam pidatonya di Muswil PKB Jawa Timur beberapa waktu lalu, mengusulkan pilkada oleh DPRD, Alasannya sederhana, biaya pilkada terlalu mahal, ratusan triliun rupiah habis dalam hitungan hari. Presiden pun menyatakan akan mempertimbangkan usulan tersebut, dengan merujuk pada negara-negara maju seperti Malaysia, India, Inggris, dan Kanada yang menggunakan sistem parlementer.

Menyambut usulan dari beberapa ketum partai tersebut, sekjen Gerindra, Sugiono menyatakan bahwa Gerindra dalam posisi mendukung usulan tersebut. Nampaknya ini seperti sudah diskenario, partai Golkar dan PKB yang mengusulkan lalu presiden menyatakan akan mempertimbangkan dan kemudian sekjen Gerindra mendukungnya. Bola ini coba dilempar ke publik dan menunggu respon publik seperti apa.

Diruang publik, usulan ini tentu saja memicu perdebatan keras. Ada yang melihatnya sebagai langkah pragmatis untuk menghemat anggaran negara. Ada pula yang menganggapnya sebagai kemunduran demokrasi, sebuah pengkhianatan terhadap semangat reformasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah.

Namun justru di tengah ketegangan perdebatan inilah, pemikiran Gus Dur menjadi relevan. Bukan karena ia punya jawaban teknokratis yang siap pakai, melainkan karena cara berpikirnya yang santai tapi tajam, humoris tapi dalam, dan sederhana tapi menyentuh inti persoalan.

Gus Dur dan Demokrasi yang Memanusiakan

Bagi Gus Dur, demokrasi bukan sekadar mekanisme memilih pemimpin. Demokrasi adalah cara sebuah bangsa menghormati martabat manusia. Dalam berbagai tulisan dan ceramahnya, Gus Dur selalu menekankan bahwa demokrasi yang sejati adalah demokrasi yang membuat orang merasa dihargai, didengar, dan dilibatkan—bukan hanya dihitung suaranya setiap lima tahun sekali.

Ia sering menertawakan demokrasi yang terlalu sibuk pada prosedur, tapi lupa pada substansi. Demokrasi yang obsesif pada aturan main, tapi mengabaikan apakah permainan itu adil bagi semua pemain. Demokrasi yang gemar berteriak “kedaulatan rakyat”, tapi dalam praktiknya justru menjauhkan rakyat dari ruang pengambilan keputusan.

Gus Dur tidak pernah memisahkan demokrasi dari kemanusiaan. Ketika ia membela hak-hak minoritas—entah itu Tionghoa, Ahmadiyah, atau komunitas Syiah—bukan karena itu populer secara elektoral, tetapi karena itulah inti dari demokrasi: melindungi yang lemah dari tirani mayoritas. Ketika ia menjamin kebebasan berpendapat, bahkan bagi mereka yang mengkritiknya, itu bukan karena ia masokis, tetapi karena ia paham bahwa demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang tidak alergi terhadap kritik.

Dalam logika Gus Dur, jika rakyat tidak diberi ruang untuk berpartisipasi, maka demokrasi hanya berubah menjadi administrasi kekuasaan. Menjadi ritual lima tahunan yang kehilangan makna. Menjadi prosedur tanpa jiwa.

Pilkada Langsung: Mahal, Tapi Berharga

Secara jujur kita akui bahwa pelaksanaan pilkada langsung selama ini memang bukan tanpa masalah. Biaya politik yang membengkak adalah fakta. Politik uang yang merajalela juga tidak bisa disangkal. Konflik horizontal yang sering muncul menjelang pilkada, belum lagi pragmatisme elektoral yang membuat calon lebih fokus pada popularitas ketimbang kompetensi, semua ini adalah kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri.

Namun pertanyaannya, apakah solusinya adalah menarik kembali hak rakyat untuk memilih? Apakah karena demokrasi itu mahal, lalu kita harus menyerahkan kedaulatan kita kepada 40-50 orang anggota DPRD di setiap kabupaten atau kota?

Gus Dur barangkali akan bertanya dengan nada jenaka: “Kalau karena mahal lalu rakyat disuruh diam, nanti kalau negara mahal apa rakyat disuruh bubar?” Humor semacam ini bukan lelucon kosong. Ia adalah kritik tajam terhadap logika kekuasaan yang sering mencari jalan pintas, yang mengorbankan prinsip demi efisiensi, dan memilih kemudahan prosedural ketimbang keadilan substantif.

Pilkada langsung, dengan segala kekurangannya, adalah instrumen partisipasi rakyat. Ia memberi kesempatan kepada rakyat, bukan hanya elite politik, untuk menentukan siapa yang akan memimpin mereka. Ia menciptakan akuntabilitas langsung antara pemimpin dan rakyat yang memilihnya. Dan yang terpenting, ia adalah simbol bahwa kedaulatan memang berada di tangan rakyat, bukan di tangan segelintir anggota parlemen.

Pilkada langsung dengan segala kekurangannya tentu saja sistem ini perlu dan bisa diperbaiki. Biaya kampanye bisa dibatasi. Politik uang bisa ditindak lebih tegas. Pendidikan politik bisa diperkuat. Tapi mencabut hak rakyat untuk memilih sama saja dengan mengakui bahwa negara tidak percaya pada rakyatnya sendiri. Dan itu adalah pengkhianatan terhadap prinsip paling fundamental dari demokrasi.

Humor sebagai Etika Politik

Ada yang menarik dari cara Gus Dur berpolitik, Gus Dur selalu menggunakan humor, bahkan dalam isu-isu yang paling serius. Ketika dikritik, ia balas dengan candaan. Ketika diserang, ia merespons dengan tawa. Banyak yang salah paham, mengira Gus Dur tidak serius. Padahal justru sebaliknya, Gus Dur sangat serius dalam hal prinsip, hanya saja ia santai dan lentur dalam gaya dan strategi.

Humor Gus Dur bukan sekadar untuk menghibur. Ia adalah strategi politik yang cerdas. Humor adalah cara untuk membongkar arogansi kekuasaan, untuk menunjukkan bahwa kaisar sebenarnya telanjang, untuk mengingatkan bahwa tidak ada yang terlalu sakral untuk dikritik dalam demokrasi.

Kekuasaan yang sehat tidak takut ditertawakan. Pemerintahan yang kuat tidak alergi terhadap sindiran. Ketika demokrasi kehilangan humor, biasanya yang tumbuh adalah otoritarianisme yang sensitif, rezim yang mudah tersinggung, yang menangkap orang karena meme, yang memenjarakan kritik sebagai penghinaan.

Hari ini, demokrasi kita kehilangan humor. Kita terlalu mudah marah, terlalu cepat tersinggung, terlalu gegabah membelah diri menjadi kubu-kubu yang saling membenci. Kita lupa bahwa perbedaan adalah nafas demokrasi. Bahwa debat adalah bagian dari proses pencarian kebenaran. Bahwa kritik adalah bentuk kepedulian, bukan permusuhan.

Gus Dur mengajarkan bahwa politik boleh keras, tapi demokrasi harus tetap manusiawi. Kita boleh berbeda pendapat, tapi tidak boleh kehilangan rasa hormat satu sama lain. Kita boleh berdebat dengan sengit, tapi tidak boleh sampai kehilangan akal sehat.

Demokrasi untuk Siapa?

Di tengah wacana pilkada tidak langsung ini, ada pertanyaan mendasar yang harus kita ajukan, untuk siapa sesungguhnya demokrasi ini? Apakah untuk kenyamanan elite politik yang bisa lebih mudah mengontrol pemilihan lewat DPRD? Atau untuk rakyat yang ingin merasa bahwa suara mereka benar-benar berarti?

Pengalaman sejarah kita sebelum 2005 sudah membuktikan. Ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD, yang terjadi adalah politik uang yang masif, bukan di level pemilih, tetapi di level anggota DPRD. Harga satu suara anggota DPRD bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah. Rakyat tidak punya kontrol sama sekali. Mereka hanya bisa pasrah menerima siapa pun yang dipilih oleh “wakil” mereka.

Reformasi 1998 melahirkan pilkada langsung justru untuk memperbaiki sistem lama yang oligarkis itu. Untuk mengembalikan kedaulatan kepada pemiliknya yang sah yakni rakyat. Jika kita sekarang mundur lagi ke sistem lama dengan dalih efisiensi, bukankah itu sama saja dengan mengkhianati semangat reformasi?

Gus Dur, yang hidupnya banyak diabdikan untuk membela hak-hak kelompok lemah dan minoritas, pasti akan bertanya, siapa yang paling diuntungkan dari perubahan ini? Siapa yang paling dirugikan? Dan jika yang dirugikan adalah rakyat kecil yang tidak punya akses ke elite politik, apakah itu bisa disebut sebagai kemajuan demokrasi?

Demokrasi yang Waras

Demokrasi tidak harus selalu gaduh, tapi ia harus adil. Tidak harus selalu mahal, tapi harus partisipatif. Dan tidak perlu selalu serius, asal tetap berprinsip.

Gus Dur mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam formalisme demokrasi yang kering. Demokrasi bukan sekadar pemilu yang teratur, parlemen yang rapi, atau prosedur yang baku. Demokrasi adalah ketika seorang petani di pelosok desa merasa bahwa suaranya didengar. Ketika seorang nelayan di pesisir yakin bahwa pemimpinnya peduli pada nasibnya. Ketika seorang buruh pabrik tahu bahwa ada ruang untuk memperjuangkan haknya.

Di tengah perdebatan pilkada langsung versus tidak langsung ini, mungkin kita perlu kembali ke pertanyaan paling sederhana yang selalu diajukan Gus Dur, apakah keputusan ini membuat rakyat merasa lebih dihargai atau justru lebih diabaikan? Apakah ini membawa kita lebih dekat ke demokrasi yang sejati, atau justru lebih jauh dari itu?

Jika Gus Dur masih hidup, mungkin ia akan menutup diskusi ini dengan senyum dan satu kalimat ringan, “Yang penting demokrasi itu bikin rakyat merasa ikut punya negara ini.”

Dan di situlah sesungguhnya inti demokrasi berada. Bukan pada efisiensi prosedurnya, bukan pada kemegahan gedung DPR-nya, bukan pada banyaknya partai atau rumitnya sistem pemilu. Tetapi pada pertanyaan sederhana, apakah rakyat merasa bahwa ini adalah negara mereka, atau negara orang lain yang kebetulan mereka tinggali?

Demokrasi tak serius ala Gus Dur mengajarkan kita untuk tidak kehilangan akal sehat di tengah hiruk-pikuk politik, untuk tetap santai dalam gaya tapi keras dalam prinsip. Untuk bisa tertawa pada absurditas kekuasaan tanpa kehilangan keberanian untuk melawhusnulhunuslannya.

Dan mungkin, di tengah isu pilkada tak langsung dan kemunduran demokrasi hari ini, kita bisa dapati pelajaran paling berharga yang bisa kita ambil dari sosok yang pernah memimpin negeri ini dengan humor, kemanusiaan, dan keberanian moral yang luar biasa.

Penulis: HUSNUL HAKIM SY, MH., Dekan FISIP Unira Malang, Pemerhati Kebijakan dan Hukum.

Ikuti GOOGLE NEWS atau Join Channel TELEGRAM

Pos terkait

Tinggalkan Balasan