KALBAR SATU ID – Usulan pemilihan kepala daerah oleh DPRD kembali muncul, kali ini disampaikan oleh partai Golkar ketika memperingati HUT ke-61, disampaikan kepada presiden Prabowo Subianto.
Kenapa Golkar sangat ngotot dengan usulan itu. Bukankah kita sudah memasuki era demokrasi modern modern? Ataukah Golkar ingin mengulang masa lalu ketika era orde baru, denga alasan efisiensi ?.
Logikanya begini, bayangkan sebuah keluarga besar dengan 100 anggota. Untuk memilih ketua keluarga, semua anggota berkumpul dan memberikan suara. Namun suatu hari, ada usulan, “Biaya ngumpulin 100 orang mahal, mending kita pilih 5 orang saja sebagai wakil, lalu 5 orang ini yang memutuskan siapa ketua keluarganya.” Kedengarannya efisien. Tapi pertanyaannya, apakah 5 orang itu akan benar-benar mewakili kehendak 95 orang lainnya? Atau justru akan memilih ketua yang paling menguntungkan mereka?
Itulah esensi dari usulan Partai Golkar yang disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto dalam HUT ke 61 Golkar, kembalikan pemilihan kepala daerah, gubernur, bupati, walikota, ke tangan DPRD. Alasannya klasik, biaya pilkada terlalu mahal, puluhan triliun rupiah habis dalam 1-2 hari.
Prabowo menyebut sistem ini sudah diterapkan di Malaysia, India, Inggris, Kanada, dan Australia, negara-negara maju dengan ongkos politik murah.
Namun di balik retorika efisiensi ini, tersimpan pertanyaan mendasar yang harus kita jawab dengan jujur, apakah ini benar-benar soal biaya, atau ada agenda politik yang lebih besar? Dan yang terpenting, akankah ini membawa kita lebih dekat atau lebih jauh dari demokrasi yang sesungguhnya?
Demokrasi Bukan Soal Murah atau Mahal
Robert Dahl, salah satu teoretisi demokrasi paling berpengaruh di abad ke-20, menegaskan bahwa demokrasi sejati harus memenuhi lima kriteria fundamental, kesetaraan hak pilih, partisipasi efektif, pemahaman yang tercerahkan, kontrol agenda oleh rakyat, dan inklusivitas penuh. Dari kelima kriteria ini, yang paling krusial adalah kontrol agenda oleh rakyat, rakyat harus memiliki kekuasaan eksklusif untuk menentukan siapa yang akan memimpin mereka.
Ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD yang hanya berjumlah 40-50 orang di setiap kabupaten atau kota, prinsip fundamental ini langsung runtuh. Bukan lagi rakyat yang menentukan, melainkan segelintir elite politik yang duduk di kursi parlemen. Dan mari kita jujur, apa jaminan bahwa 50 orang anggota DPRD akan benar-benar mewakili kehendak ratusan ribu, bahkan jutaan pemilih yang ada di daerah mereka?
Pengalaman sejarah kita sendiri sudah membuktikan. Sebelum 2005, kepala daerah memang dipilih oleh DPRD. Apa yang terjadi? Politik uang merajalela, bukan di level pemilih, tetapi justru di level anggota DPRD. Harga satu suara anggota DPRD bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah. Proses pemilihan menjadi ajang tawar-menawar transaksional yang tersembunyi dari mata publik. Rakyat tidak punya kontrol sama sekali, mereka hanya bisa pasrah menerima siapa pun yang dipilih oleh “wakil” mereka.
Bahkan Zulfikar Arse Sadikin dari Komisi II DPR, yang notabene berasal dari Partai Golkar, dengan tegas menolak usulan pilkada melalui DPRD karena sistem itu telah dikoreksi melalui reformasi. Menurutnya, pemilihan langsung justru dilahirkan untuk memperbaiki sistem lama yang menempatkan DPRD sebagai king maker, sementara rakyat hanya menjadi penonton.
Analogi yang Keliru: Indonesia Bukan Malaysia atau India
Prabowo dan pendukung usulan ini kerap membandingkan Indonesia dengan negara-negara seperti Malaysia, India, Inggris, Kanada, dan Australia yang menggunakan sistem parlementer atau semi-parlementer. Namun perbandingan ini mengandung kesalahan fundamental, apa yang disebut dalam logika sebagai false equivalence.
Pertama, negara-negara tersebut menganut sistem parlementer, bukan presidensial seperti Indonesia. Dalam sistem parlementer, eksekutif (perdana menteri) dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen. Seluruh arsitektur kekuasaan dibangun atas dasar supremasi parlemen. Sementara Indonesia menganut sistem presidensial dengan pemisahan kekuasaan yang tegas antara eksekutif dan legislatif. Kedua lembaga sama-sama dipilih langsung oleh rakyat dan memiliki legitimasi yang setara.
Kedua, konteks sosial-politik sangat berbeda. India, misalnya, memiliki tradisi panjang sistem parlementer warisan kolonial Inggris dengan budaya politik yang sudah matang. Malaysia, memiliki sistem checks and balances yang relatif lebih kuat dengan oposisi yang aktif. Sementara Indonesia baru 20 tahun menjalankan demokrasi langsung dan kita masih belajar bagaimana membuat sistem ini bekerja dengan baik.
Yang lebih penting, jika memang sistem DPRD lebih baik, mengapa rakyat Indonesia pada 2014 turun ke jalan menolak penghapusan pilkada langsung? Ketika DPR memutuskan mengembalikan pilkada ke DPRD, protes masif terjadi hingga Presiden SBY menerbitkan Perppu untuk membatalkannya. Mahkamah Konstitusi juga dalam putusan 135/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa pilkada harus serentak dengan pemilu anggota DPRD, yang berarti pilkada langsung harus dipertahankan.
Siapa yang Diuntungkan? Analisis Politik-Ekonomi
Untuk memahami siapa yang sesungguhnya diuntungkan dari usulan ini, kita perlu melihatnya dari perspektif rational choice theory dan teori oligarki politik. Dalam teori pilihan rasional, setiap aktor politik akan mengambil keputusan yang memaksimalkan kepentingannya sendiri. Pertanyaannya kemudian, apa kepentingan partai politik besar seperti Golkar dalam mengusulkan ini?
Jawaban pertama, kontrol politik yang lebih mudah. Dengan pilkada melalui DPRD, partai-partai besar yang menguasai kursi parlemen akan memiliki bargaining power luar biasa besar. Mereka bisa menentukan siapa yang menjadi kepala daerah dengan lebih pasti, tanpa harus bersusah payah menghadapi ketidakpastian pemilu langsung. Ini menciptakan apa yang disebut sebagai political cartelization, kartelisasi politik di mana beberapa partai besar berbagi kekuasaan dan menutup akses bagi pendatang baru atau figur independen.
Jawaban kedua, ekonomi politik patronase. Ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD, maka kepala daerah terpilih akan memiliki hutang politik kepada anggota DPRD yang memilihnya. Konsekuensinya? Kebijakan daerah akan lebih banyak mengakomodasi kepentingan elite politik di DPRD ketimbang kepentingan rakyat. Anggaran daerah, proyek infrastruktur, perizinan usaha, semuanya akan menjadi ajang bagi-bagi kue politik untuk membayar hutang kepada para king maker di DPRD.
Jeffrey Winters dalam teorinya tentang oligarki membedakan antara civil oligarchy dan sultanistic oligarchy. Dalam civil oligarchy, oligark masih harus mengikuti aturan main demokrasi, termasuk menghadapi risiko kalah dalam pemilu langsung. Namun dengan sistem DPRD, oligark bisa beroperasi lebih leluasa tanpa harus repot-repot menghadapi rakyat. Mereka cukup “menguasai” 50 anggota DPRD untuk mengendalikan kepala daerah.
Pertentangan dengan UUD 1945 dan Hukum Tata Negara
Dari perspektif hukum tata negara, usulan pilkada melalui DPRD berpotensi bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusional yang termaktub dalam UUD 1945. Pasal 1 ayat (2) hasil amandemen menyatakan dengan tegas, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Pasal 18 ayat (4) menegaskan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”
Kata kunci di sini adalah “dipilih secara demokratis.” Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya telah menafsirkan frasa ini sebagai pemilihan langsung oleh rakyat, bukan melalui perwakilan. Argumentasinya sederhana namun kuat: dalam sistem presidensial Indonesia pasca-reformasi, legitimasi eksekutif, baik presiden maupun kepala daerah, harus berasal langsung dari rakyat, bukan dari lembaga perwakilan.
Jika ingin mengubah sistem pilkada dari langsung ke tidak langsung melalui DPRD, secara hukum tata negara ada beberapa langkah yang harus dilalui.
Pertama, amandemen UUD 1945. Pasal 18 ayat (4) harus diubah untuk memberi ruang bagi pemilihan tidak langsung. Ini membutuhkan persetujuan minimal dua pertiga anggota MPR yang hadir dalam sidang, dengan kuorum minimal dua pertiga dari seluruh anggota MPR. Ini bukan proses yang mudah dan akan menghadapi resistensi politik yang sangat besar.
Kedua, judicial review di Mahkamah Konstitusi. Jika perubahan dilakukan hanya melalui revisi UU Pilkada tanpa mengubah UUD, maka akan sangat rentan digugat ke MK dan dibatalkan karena bertentangan dengan konstitusi.
Ketiga, referendum nasional. Mengingat ini adalah perubahan fundamental dalam sistem demokrasi Indonesia, secara moral-politik seharusnya rakyat diberi kesempatan untuk memutuskan melalui referendum. Jika elite politik memaksakan perubahan tanpa persetujuan rakyat, legitimasinya akan sangat lemah.
Nasib Rakyat dalam Sistem DPRD: Kehilangan Suara dan Kontrol
Mari kita gambarkan secara konkret apa yang akan terjadi jika pilkada dikembalikan ke DPRD. Ambil contoh sebuah kabupaten dengan 1 juta penduduk, 600 ribu di antaranya adalah pemilih. Dalam sistem sekarang, 600 ribu orang ini punya suara langsung untuk memilih bupati mereka. Setiap calon harus turun ke bawah, bertemu rakyat, mendengarkan keluhan mereka, dan menjanjikan program konkret.
Namun dengan sistem DPRD, 600 ribu suara ini menjadi tidak relevan. Yang penting hanyalah 45 anggota DPRD kabupaten. Calon bupati tidak perlu lagi turun ke desa-desa, tidak perlu lagi mendengar keluhan petani, pedagang pasar, atau buruh pabrik. Yang perlu dilakukan hanya satu: meyakinkan 23 anggota DPRD (mayoritas sederhana) bahwa dia adalah pilihan terbaik, atau lebih tepatnya, memberikan kompensasi yang paling menarik.
Dan bagaimana dengan rakyat? Mereka kehilangan semua kontrol. Jika kepala daerah mengingkari janjinya, rakyat tidak bisa berbuat apa-apa sampai periode berikutnya. Bahkan dalam periode berikutnya pun, bukan rakyat yang memilih, tetapi lagi-lagi DPRD. Ini menciptakan siklus akuntabilitas yang putus: kepala daerah hanya bertanggung jawab kepada DPRD, DPRD teoritis bertanggung jawab kepada rakyat, tetapi dalam praktiknya sering mengabaikan aspirasi konstituen mereka.
Perlu dicatat bahwa hingga hari ini, dengan sistem pilkada langsung sekalipun, masih banyak kepala daerah yang lupa janji kampanye mereka. Bayangkan jika mereka bahkan tidak perlu berkampanye ke rakyat sama sekali, seberapa besar kemungkinan mereka akan peduli dengan nasib rakyat?
Alternatif: Reformasi Sistem, Bukan Kemunduran Demokrasi
Jika memang masalahnya adalah biaya pilkada yang mahal, solusinya bukan menghapus pilkada langsung, melainkan mereformasi sistem agar lebih efisien. Ada beberapa opsi yang bisa dipertimbangkan tanpa harus mengorbankan kedaulatan rakyat:
Pertama, pembiayaan negara untuk kampanye. Seperti dilakukan di banyak negara demokrasi maju, negara memberikan dana kampanye yang sama untuk semua calon dengan batasan ketat. Ini akan mengurangi ketergantungan calon pada donasi korporasi yang sarat kepentingan, sekaligus memangkas biaya politik secara keseluruhan.
Kedua, pembatasan metode kampanye. Larang kampanye yang sifatnya mobilisasi massa besar-besaran, konser, bagi-bagi sembako, atau hal-hal lain yang menghabiskan banyak uang tetapi tidak substansif. Fokuskan pada debat publik, dialog dengan konstituen, dan kampanye digital yang lebih murah tetapi lebih informatif.
Ketiga, sanksi tegas untuk politik uang. Perkuat pengawasan Bawaslu, tingkatkan sanksi pidana dan politik bagi pelaku, dan diskualifikasi calon yang terbukti melakukan politik uang. Jika penegakan hukum lemah, sistem apa pun, termasuk DPRD, akan tetap korup.
Keempat, pilkada asimetris berbasis evaluasi. Seperti diusulkan pakar kepemiluan Asrinaldi, daerah yang tingkat pendidikan dan kesejahteraannya sudah maju bisa tetap menggunakan pilkada langsung, sementara daerah yang rawan politik uang menggunakan mekanisme khusus dengan pengawasan ekstra ketat, bukan diserahkan ke DPRD.
Relakah Kedaulatan Rakyat di Bajak
Wacana pilkada melalui DPRD ini bukan hanya soal teknis pemerintahan atau efisiensi anggaran. Ini adalah pertanyaan mendasar tentang siapa yang berdaulat di negeri ini, rakyat atau elite politik? Ini adalah ujian apakah kita akan melanjutkan jalan demokrasi yang sulit tetapi bermartabat, atau mundur ke sistem lama yang terbukti korup dan oligarkis.
Demokrasi memang mahal. Tapi yang lebih mahal adalah kehilangan demokrasi itu sendiri. Ketika rakyat tidak lagi bisa memilih pemimpinnya secara langsung, ketika suara mereka tidak lagi bermakna, ketika kontrol agenda politik berpindah ke segelintir elite, di situlah demokrasi mulai mati.
Sebagai rakyat yang memegang kedaulatan tertinggi, kita harus berani bertanya pada elite politik yang mengusulkan ini: apakah kalian benar-benar ingin menghemat anggaran negara, atau kalian ingin mempermudah kontrol politik tanpa harus repot menghadapi rakyat? Jika memang niat baik, mengapa tidak fokus pada reformasi sistem pemilu yang lebih efisien, transparansi pendanaan kampanye, dan penegakan hukum yang tegas?
Dan yang paling penting, sebagai warga negara kita harus ingat: setiap kali elite politik mencoba mengambil hak kita untuk memilih langsung, itu adalah tanda bahaya. Sejarah telah mengajarkan kita bahwa demokrasi tidak diberikan, ia harus diperjuangkan. Dan jika kita diam saja ketika hak kita dirampas dengan dalih “efisiensi”, maka kita tidak berhak mengeluh ketika suara kita tidak lagi didengar.
Pilihan ada di tangan kita, apakah kita akan membela kedaulatan rakyat, atau membiarkannya diserahkan kepada 50 orang yang duduk di kursi DPRD?.
Penulis: HUSNUL HAKIM SY, MH., Dekan FISIP UNIRA Malang,bPemerhati Kebijakan dan Hukum.






